15 September 2020

At last..

Image
little light hope

 Izinkanlah aku menghela nafas, sebelum menerawang kembali jauh ke belakang, dan sedikit menata asa. Memupuknya kembali agar suatu saat nanti Tuhan kembali memberi kesempatan. Hanya tanya, yang tetap tak terjawab, dengan suatu kepastian yang tak henti menghantui, berputar pelan namun pasti dalam setiap hembusan kata, “Mungkinkah semua tanya kau yang jawab?”. Maaf, ragaku mungkin masi tegar menembus hujan, namun rupanya batin tak pernah bisa menerima kenyataan. Topeng demi topeng, setiap hembus kebohongan yang kutelan akhirnya melumpuhkan indra perasa ini.

Semua cacat ini selalu berasal dariku sendiri. Aku sadar tak mungkin tetap menyalahkanmu, keadaan, apalagi hanya sentimen. Tak baik, wahai sanubariku, melimpahkan beban kepadanya yang membawa cahaya padamu. Bukankah ini semua inginmu? Bukankah ini semua jawab dari doamu? Percumalah semua sesal itu, apalagi air mata yang menetes untukmu. Bahkan anak kecil pun tau kuasa takdir tidak mengenal gelar kalian.

Rela? Mungkin, ikhlas? Mungkin, sedih? Mungkin, marah? Mungkin, kecewa? Tentu saja. Berbahagialah, harusnya engkau bahagia, lihatlah harta karunmu akhirnya berguna bagi orang lain. Terlebih untuk orang yang kau kasihi, tanganmu sudah tidak sehangat dulu lagi. Hartamu lebih mencolok hati, entah hatinya atau hanya sekilas bayangnya pun kau sudah tak bisa lagi mencerna. Kau telah kehilangan semuanya. Kini telah datang masamu menunggu lagi, kembali dengan semua bayang bayang yang sempat kau campakkan. Hanya dengan itulah engkau bisa melihat lagi birunya langit, dan harapan yang telah beranjak darimu.

Terkadang masih terselip sebuah tanya, “Setelah semua lara yang kau jalani masihkah ada bagian yang tersisa darimu?”. Resah pun selalu menjawab, abu abu, tak pernah sekalipun hitam atau putih. Anehnya tubuh ini masih terbiasa, terbiasa mencari bayangmu mungkin, dalam semua kesempatan yang datang akan mendapat wawasan baru, meskipun hatimu tak pernah berdoa memintanya. Pastinya kita tetap sama sama berjalan, meskipun lintasan kita terpaut jauh, setidaknya garis finish telah sama-sama kita tentukan. Tepat setelah semua rintangan telah kita lalui, apakah bagian yang tersisa masih bisa berusaha? Atau sudah mulai beristirahat dan terkubur dalam bayang orang lain, lagi? Haha, bahkan rumput yang bergoyang pun tahu, garis itu telah kalian lewati, jauh sebelum penentuan akhir ini. Kini yang tersisa hanyalah dahan muda yang masih tumbuh, tumbuh dengan semua rasa yang pernah dirajut. Kisah lama ini hanya akan mengundang luka, yang selalu basah dengan ingatan manis bayang cahaya baru hidup kita.

Sejujurnya, cahaya kecil ini cukup terang, luas untuk menyelami kosong yang kau beri. Walau terkadang terangnya meredup, tangan ini tetap menjaganya dari dingin yang meradang. Wahai cahayaku, tetaplah bersinar, sekuat ragamu, untuk semua keegoisanku, dan hanya untukku. Episode ini mungkin tidak seindah utas pelangi dalam mimpimu, setidaknya setiap mendung yang menerpa akan kutiup dengan cahaya putih lurus menuju jantungmu. Tak perlu kau renungkan, sudah tersenyumlah, sinari kosong yang semakin melanda ini. Setelah mendengar semua omong kosong ini akankah kau masih mau bersinar?

Dengan semua kelebihan yang kau banggakan, apalagi kekurangan yg engkau elukan, tanyaku masih tetap tidak terjawab. Ragu tetap menjadi dasar dari ini semua, apalagi dengan cahayamu yang mulai menguning, tanganku sedikit demi sedikit terbakar. Aku tahu, apalah cahaya tanpa bayang? Tetapi masihkah perlu aku menjawab semua mendungmu? Sementara kau tahu apa yang benar benar tersisa dariku. Maafkan aku, nyeri ini semakin menyerang, dengan semua cahayamu pun terkadang aku masih buta. Aku tak mau, cahayamu mulai menguning lagi, dengan semua peluh yang kuteteskan padamu. Namun maaf raga ini juga terkadang mencapai batasnya. Apakah sudah saatnya melepasmu kembali menuju matahari?

Tak perlu engkau turun, menapaki tanah tak terjamah ini lagi. Tunggulah aku, kan ku bangun kastil indah diatas bukit itu untukmu, kan ku gelar permadani untuk menyambutmu beranjak dari matahari. Tapi aku takut, akankah sinarmu menghapus bayangku? Atau malah aku yang akan terbakar lagi memelukmu dalam doaku? Lucu, kau selalu mengingatkanku agar tak pernah jatuh, tapi yang kulakukan malah terjatuh dan menyeretmu turun. Mungkin memang takdir memintaku untuk melihat dan meresapi, bukannya memiliki. Tak pernah restunya menganugerahiku dengan jalan perak. Hanya jalan setapak, terjal, tak tentu arah dan tak pernah terlihat akhir dari semua ini. Aku sadar selalu ada jalan keluar instan dari semua ini, tapi apakah meninggalkan cahayamu adalah jalan terbaik bagiku? Sementara indra ini sudah hilang acapnya, kaki ini sudah lunglai melangkah, namun tangan ini tetap memegang erat cahayamu, terbakar dalam lautan harapan dan bayang cahayamu. Tetaplah engkau bersinar, tumbuhan ini cukup merasakanmu, walau tak pernah sepenuhnya untukku, terima kasih.

 

pic credits: @avogado6

 

0 komentar: